Quid Pro Quo
Quid Pro Quo
Siang itu udara membakar kulit. Debu beterbangan mencekik tenggorokan. Suara sound menambah gerah para tamu undangan. Dari selatan muncul pemuda berbatik hijau. Wajahnya ramah tapi matanya tajam menakutkan. Ia menuju pelaminan. Mempelai wanita ia beri ucapan. Senyum di pipi menandakan bahwa mereka sahabat. Sekarang giliran mempelai pria. Ia jabat tangannya, ia memeluknya sambil membisikkan sesuatu.
"Aku tahu rahasiamu." Sang mempelai pria pucat pasi. Pemuda berbatik hijau tersenyum lebar, lebih lebar dari sewajarnya.
Keesokan harinya, mempelai pria mendatangi rumah pemuda berbatik hijau. Awan hitam menaungi wajah mempelai. Digenggamnya tas kain berwarna abu-abu. Makibot, sang pemuda berbatik hijau menyambutnya dengan ramah.
Digenggamnya tangan mempelai sambil berkataS " Selamat datang tuan, mari bicara."
Rumah Makibot tidak begitu besar. Perabotannya juga terkesan minimalis. Satu hal yang mencolok adalah sebuah sofa melingkar dengan gambar ular. Terdapat gambar-gambar manusia berjenggot, entah siapa mereka. Mempelai hanya mengenal satu, Nietze sang superman.
Ada dua gelas teh hangat tersedia di meja."Saya tahu tuan akan datang" bisik Makibot.
Makibot kemudian menengguk teh hangat. mempelai mengikutinya. Teh tersebut manis tapi entah kenapa ada perasaan bersalah ketika meminumnya.
Tak lama kemudian Makibot berbicara
"Mari kita bermain, Quid Pro Quo. Aku memberi tuan satu rahasia, tuan memberiku satu rahasia."
Wajah mempelai menegang, urat-urat wajahnya bersatu membentuk sebuah simpul di kening. Tetapi ia tahu resiko pergi ke rumah Makibot. Tas abu-abu ditaruh pelan di atas meja.
“Ini ada sejumlah uang. Memang tidak seberapa, tapi itu hasil kerja kerasku selama ini. Jika kurang, aku berjanji akan menambahnya. Tapi aku mohon jangan rusak kebahagiaanku. Aku sudah menikah dengan gadis paling baik di dunia. Aku mohon jangan ganggu aku lagi. Katakan padanya aku sudah kembali ke Tuhan.” Rudi sang mempelai berteriak pada Makibot. Wajahnya menunjukkan bahwa ia serius.
"Quid Pro Quo. Aku butuh cerita. Dunia berhak tahu. Begitu peraturannya sejak berabad-abad lalu. Pulanglah tuan! Pikirkan lagi! Aku hanya butuh cerita. Jika Tuan diam maka hal-hal buruk akan menyertai. Aku kira tuan sudah tau. Temui aku jika tuan siap." Makibot terkekeh menahan geli. Ada aura menakutkan dalam tawanya. Cicak di dinding buru-buru melarikan diri.
Rudi keluar dari rumah Makibot. Kakinya berat seolah menarik ribuan ton bebatuan. Sampai di rumah, Sinta menyambut Rudi. Tangan suaminya ia cium penuh hormat. Ia gandeng tangannya menuju meja makan. Sayur lodeh hangat beserta tempe goreng sudah tersedia. Dalam hati, Rudi menangis tersedu-sedu. Ia pandangi istrinya, ia beri kecupan hangat di kening. Mereka makan bersama tetapi jiwa Rudi entah kemana. Rudi makan dengan lahap. Ia merasa bahwa makan malam ini mungkin yang terakhir baginya. Malam terus berjalan tanpa beban. Cicak di dinding menguap, berjalan gontai, kemudian lelap dalam peraduan.
Pagi-pagi sekali, Ketika matahari bermalas-malasan, Makibot datang ke rumah Rudi. Celana Training, kaos, sepatu kets menjadi tampilannya kali ini. Sambil berlari-lari kecil, Makibot menghampiri Rudi yang sedang duduk di teras.
Makibot berbisik "aku tahu tentang Puspita." Makibot berlari meninggalkan Rudi sambil terbahak-bahak.
Tiba-tiba langit gelap, guntur menggelegar, Rudi jatuh tersungkur, matanya gelap segelap masa lalunya.
Sudah tiga hari Rudi terkapar di rumah sakit. Dokter tidak bisa menjelaskan penyakitnya. Tubuh Rudi lumpuh tak bisa bergerak, hanya mulutnya yang selalu berucap "Non Serviam." Sudah jelas bahwa sakitnya Rudi karena ulah Makibot. Santet! Ilmu hitam! Tidak ada lagi orang desa Gagah yang mampu melakukan hal keji semacam itu. Orang-orang desa bersumpah akan membakar Makibot. Agar desa menjadi aman kembali. Agar orang baik seperti Rudi tidak menjadi korban ilmu hitam Makibot. Agar Sinta yang malang dapat bahagia kembali.
Hari ke empat, Makibot muncul di rumah sakit. Ia terlihat tidak takut terhadap orang-orang desa yang sedang memburunya. Ia memakai kopyah, pakainnya serba hitam. Makibot berpenampilan layaknya akan melayat seseorang. Ia masuk ke kamar rawat Rudi. Tersenyum pada Sinta yang sedang menjaga Rudi. Seperti disihir, Sinta meninggalkan kamar 17b. Meninggalkan Rudi dalam ancaman kekejaman Makibot.
Hening melanda kamar itu. Angin dingin memasuki ruangan. Agak aneh karena semua pintu dan jendela tertutup rapat. Cicak di dinding buru-buru meninggalkan ruangan. Dengan satu hentakan nafas Makibot berbicara "Quid Pro Quo, bad things would follow. Beri tahu dunia maka janjimu terpenuhi!" Makibot berbicara kepada Rudi yang sedang tertidur. Seperti terkena hentakan listrik, seketika Rudi membuka mata, ia bangun dari tidurnya. Rudi ingin mengatakan sesuatu tapi ia tercekat. Kerongkongannya kering laksana gurun, mulutnya seperti di sumpal karet gelang. Rudi ingin menyebut nama Tuhan. Ia ingin membaca ayat-ayat untuk mengusir Makibot. Tapi semua sia-sia. Ia sudah bermain permainan terlarang. Ia bisa selamat jika berkata sebenarnya. Tapi Rudi hanya ingin menyebut nama Tuhan, bukan yang lain.
Makibot paham keputusan rudi. Ia mengangguk kemudian memejamkan mata. Tangannya terlentang. Ia mendongak keatas. Dari pintu depan, segerombolan orang berlari menuju Makibot. Seorang kekar menendang perut Makibot. Ia tersungkur. Gerombolan tersebut tidak berhenti, bogem mentah berkali-kali menghantam Makibot. Ia tetap tersenyum, seperti tidak merasakan rasa sakit. Sebaliknya, Rudi meronta-ronta. Selang infus putus. Darah mengucur dari lengannya. Badannya terlempar dari tempat tidur. Kepalanya membentur tembok. Rudi mengerang meminta ampun. Tubuhnya bergerak tak terkendali. Ia meloncat ke jendela kaca. "Pyar!!" Kaca jendela pecah, Rudi jatuh dari lantai tujuh. Tulang-tulangnya patah, sendinya hancur, tapi rahasianya tetap utuh.
Makibot diringkus penduduk desa. Pembunuhan dengan ilmu hitam sangat diharamkan oleh penduduk desa Gagah. Duel satu lawan satu akan dihargai dan tidak akan diberikan hukuman apapun. Bahkan pelaku duel akan disegani dan akan diberi tempat terhormat. Lain cerita dengan pembunuhan dengan ilmu hitam. Pelakunya akan di cap pengecut, pemuja setan laknat. Makibot di gelandang ke depan Balai Desa. Darah bercampur bensin menetes di tubuhnnya. Seluruh penduduk desa Gagah miris bercampur takut. Seorang Ibu menutup mata anaknya. Seorang Tetua desa bersedekap menyembunyikan tangannya yang bergetar. Makibot terkekeh. Pemuda berbadan kekar telah siap membakarnya. Klik! Korek api menyala. Sekian detik kemudian tubuh Makibot berkorbar dilalap api yang ganas, ia tidak berteriak, ia tidak meronta. Dengan lantang ia berteriak "Quid Pro Quo, adalah kebenaran. Otak berpikir, mulut berbohong. Perut dan selangkangan berkata sebenarnya. Galilah yang di bawah, ungkapkan ke permukaan. Carilah kebenaran! Katakan kebenaran!" Ia terkekeh, kemudian terbahak-bahak. Ia tersungkur, tubuhnya hilang dalam asap hitam.
Penduduk desa tertegun. Seorang anak kecil tertawa sambil bertepuk tangan. Tetua desa sudah kencing di celana. Pemuda kekar dan gerombolannya, seperti disihir, berlari ke rumah Rudi. Rumah itu terkunci, Sinta masih di rumah sakit. Pemuda kekar mendobrak pintu, langsung menuju meja makan. Dilemparnya meja tersebut. Teman-temannya mengambil cangkul di belakang rumah. Ketemu! Tanpa ba bi bu, keramik tersebut dihancurkan. Setengah meter galian, mereka menemukan sesosok kerangka manusia. Kerangka tersebut meringkuk mendekap kerangka seorang bayi. Pemuda berbadan kekar menangis. Tumitnya tak kuasa menahan berat hatinya. Kerangka itu adalah Puspita, kekasih sang pemuda kekar. Puspita memang sudah beberapa lama menghilang. Ada yang mengatakan bahwa ia minggat ke Jakarta. Ada juga yang bilang bahwa ia kembali ke Arab Saudi.
Keesokan harinya terdengar gosip-gosip miring seputar Rudi dan Puspita. Tentang anak yang dikandungnya, tentang ilmu-ilmu hitam, tentang perjanjian-perjanjian terlarang. Penduduk desa dengan riang memberikan analisis mengenai peristiwa semalam. Ibu-ibu dan tukang sayur dengan senang hati membicarakan kebobrokan Puspita. Bapak-bapak di pos ronda mengeluhkan kebodohan pemuda berbadan kekar. Mengeluh sambil menenggak kopi. Memperlihatkan kegembiraan dalam keprihatinan. Tapi mereka tidak pernah membicarakan Makibot. Semua orang punya rahasia dan mereka tidak ingin suatu saat Makibot menghampirinya.
Pagi itu ketika matahari sedang malas, Sinta duduk di teras. Matanya masih sembab, menangisi kematian suami tercintanya. Ia menerawang jauh memikirkan masa depannya. Tiba-tiba ia tersenyum, lalu tertawa terbahak-bahak. Dari arah selatan, seorang pemuda berbatik hijau menghampiri Sinta. Sambil menjabat tangan, pemuda itu berbisik "Quid Pro Quo, aku tahu rahasiamu."