Aksara Diujung Senja Oleh Ayu Apriliya Kusuma
Sore itu, angin mengetuk jendela ku menyelinap masuk hingga ke relung kalbu, Sebentar saja ingin kurasakan kembali degup kesukaan itu, degup dimana bayangmu bukan hanya sekedar angan. Beri aku detak itu, agar aku mampu membayangmu walau hanya dalam bayangan. Akan aku usahakan inginku menjadi seperti inginmu. Agar kamu hilang dalam khayalan.
Ku ulas Kembali sore itu, diujung langit senja, pertemuan pertama dan terakhir antara kita. kamu menyampaikan aksara mu untuk ku, aksara yang begitu indah namun maknanya membuat aku tidak tenang dan kamu membuat aku terpukau dengan sengaja. Masih teringat jelas isinya seperti ini “Aku memilih untuk mencintaimu dalam diam, karena disana aku tidak menerima penolakan. Aku memilih menyayangimu dalam kesendirian, karna kesendirian tidak mengharuskan berjuang berulang kali. Aku memilih angin yang menyampaikan rinduku agar kamu bisa merasakan desau nya berulang kali. Aku memilih menggenggammu dalam mimpi, karna di mimpi tidak ada kata akhir.” Lalu aku hanya membalas aksaramu dengan senyuman penuh harapan.
Aku berharap, pedang langit sore itu masih bisa mendengarkan lantunan aksara mu selepas senja ini. Melantunkan aksara yang lebih indah dengan kalimat menenangkan. Sayangnya tidak ada yang tau apa yang akan terjadi esok lusa. Mungkin kita berhasil melewati angan-angan ini, atau mungkin juga kita binasa! Seketika sadar mengetuk pikiranku. wahai, binasa atau menang, itu semua kuasa langit dan alam semesta.
“Ayolah, waktuku tak banyak hanya untuk melihat senyummu itu, Aylin!” Ucapnya sembari mengakhiri pertemuan sore itu. Menyebalkan! Aylin adalah nama yang bermakna senja dalam Bahasa Scotlandia. Sedangkan Scotlandia adalah negara kesukaannya. Dan itulah panggilan sayangnya kepadaku dan hanya boleh digunakan olehnya, si pengagum rahasiaku ini. Aku sangat menyukai hari itu karna merupakan hari pertemuan pertama kami, namun juga menjadi pertemuan terakhir.
Setelah itu, dimalam hari, angin pun enggan bertiup. Langit senyap oleh ketegangan. Bulan dan bintang-gemintang tertutup kabut mendung tebal. Jarum jam yang berbunyi nyaring pertanda suasana yang hening. Ku bayangkan betapa pekatnya warna jingga senja sore itu begitu nyata, matahari senja hampir terbenam di ufuk barat. Sisanya, Hanya tersisa suara bising dikepala yang masih saja mengingat lantunan aksara yang kamu sampaikan sore itu.
Karna kelelahan, aku esok harinya bangun kesiangan. Badanku penat. Apalagi semalam tidur terlalu larut selepas bertengkar dengan isi kepala sendiri. “Selayaknya cahaya dalam hatimu, sesungguhnya perasaan yang tulus akan membuat duniamu senantiasa benderang, walau nyatanya kegelapan tengah mengepung kamu. Dan adalah iman yang bersemayam di dada yang mampu menggerakkan hati untuk tetap mencinta walau hanya dalam diam” ucap ibuku yang melihat aku termenung dipagi menjelang siang kala itu seperti mengerti semua isi hati.
Beberapa minggu kemudian, aku bahkan mulai berani bercerita kepada semesta. Bisik-bisikku hanya berpindah dari satu kegelisahan menuju kegelisahan selanjutnya. Setidaknya demikian, sebelum akhirnya aku sampai pada harapanku untuk mengakhiri anganku untuk kembali bertemu denganmu. Sangat mustahil. aku menyebutmu dengan fatamorgana. Keindahan yang tak bisa ku miliki.
Wahai fatamorgana, hanya 30 detik pertemuan kita. 30 detik yang penuh kesan dan kesal. Sepertinya kamu tidak memahami beberapa hal yang aku rasakan, kerinduan dan beberapa rasa yang sulit untuk dijelaskan. Sejak saat itu, sabda rindu terus menggrutu. Apalah ini Namanya, aku mengeluh kala harus terus-terusan mengenangmu. Tapi tetap saja ada kamu di denyutku. Hingga disetiap hembusan nafasku masih melafal namamu.
Harus jadi apa aku? Jadi angin? Percuma, tak bisa kamu lihat! Jadi air? Percuma tidak bisa kamu genggam! Kamu terlalu curang, hanya singgah yang berakhir tak sungguh. Kamu seperti syair, dan aku penerjemah yang gagal, tak bisa ku tafsir. Kata demi kata ber metamorfosa menjadi seribu muka, yang membuatku sulit bedakan mana cinta mana luka.
Sepertinya kamu adalah apa yang tak pernah aku sesali. Seandainya semua hal baik selalu melewati cara seperti itu untuk datang, tanpa pernah ada rasa kecewa. Namun kenyataannya, manusia terkadang harus menelan sesal untuk tau pahitnya kenyataan. That’s okay. I’m dealing with it. Jika kamu pernah mengisi kehilangan, aku pun demikian. Jika kamu pernah merindukan seseorang yang tengah sibuk untuk melupakanmu, aku pun demikian. Jika kamu pernah dicintai dengan tidak jujur, aku pun demikian. Jika kamu pernah berharap pada dia yang ternyata tidak berjuang sungguh-sungguh untuk mendapatkan mu , aku pun demikian.
Masih sempat bergumam didalam hati, berharap semesta bisa merestui. namun seketika perasaan ku tak lagi memiliki garis tepi, layaknya hilang terperangkap rindu sunyi. Rasanya ingin Kembali ku simpan di dalam lemari hati, siapa tau rindu ini mati. Namun tetap saja tak bisa ku pingikiri, wahai kamu penakluk hati.