Setengah Satu di Bus Stop
Setengah Satu di Bus Stop
Oleh: Muhammad Emil Fajri
Sial pikirku. Waktu telah menunjukkan pukul setengah satu malam. Pekerjaan melelahkan yang tentu tak sebanding bayarannya hanyalah satu-satunya yang kumiliki untuk bertahan di kota bergengsi ini. Dengan letih ku berjalan ke bus stop yang berjarak tak lebih 200m dari kantor ku. Sambil menyalakan rokok Surya, ku tatap sekitar untuk memastikan mungkin saja ada orang lain yang bisa menemani malam ini menunggu bus. Sepi ucapku pelan. Nampaknya malam ini akan menjadi malam sendirian lagi.
Ku hisap rokok yang setengahnya telah menjadi asap. Smartphone murahan nan usang menemani kantong mata yang mulai menghitam. Sesekali lagu terkenal dari aplikasi TikTok berbunyi menghiasi malam sepi. Namun, entah kenapa lilin batik kali ini rasanya berbeda. Ibarat seseorang terus memperhatikan ku dari jauh, bersiap untuk melakukan apapun. Ku tatap area sekitar sekali lagi dan betapa terkejutnya ku temui seorang kakek tua yang telah duduk dikursi bus stop karatan. Ia mengenakan topi jadul abu-abu, kulitnya keriput bukan main, dan yang paling mencolok dari semuanya, pakaian aneh bak orang menghadiri sebuah acara cosplay. Kakek ini menatap mataku dengan tajam, tapi bibir tuanya tersenyum lembut sambil berbisik. Tatapan yang ia berikan tentu membuat ku reflek. Otak ku langsung mengatakan untuk lari dari situ, namun tubuh yang telah di gerogoti oleh lembur malam ini mengatakan hal yang sebaliknya.
“Maaf” ku ucapkan dengan rasa bersalah. Kakek itu tertawa dan menepuk bangku disebelahnya, memberi sinyal agar aku duduk disebelahnya. Dengan sopan ku terima permintaan yang bagiku sangat berat. Bau amis langsung memperkosa hidungku setelah duduk disebelah kakek aneh tersebut. Tidak hanya itu, mata kakek itu semakin tajam menatap diri ini, yang tentu membuat perasaan tidak nyaman. Sesekali ia membuka topik pembicaraan, yang ternyata cukup normal. Mulai dari politik, hingga ke berita cuaca, semuanya tampak tak ada masalah.
Namun, bau amis ikan kian menjadi. Semakin banyak kakek tersebut berbicara, semakin parah bau amis yang tercium. Muncul suatu perasaan untuk bertanya dari mana bau amis ini, tetapi tentu hal itu akan menyindir kakek tersebut.
Ku coba untuk menatap sekali lagi paras dari kakek ini. Full-scan mode istilah nya. Sepatu yang ia kenakan nampak basah, begitu juga dengan celananya. Jari jemari nya tampak aneh, terlihat sedikit selaput basah diantara jari-jarinya. Mungkinkah kakek ini hantu? Ku coba pikir secara rasional berulang kali. Nelayan? Mustahil, jarak antara kantor ku dengan lautan lebih dari 90 Kilometer. Otak yang lelah ini terus berusaha untuk mencari tau apa dan siapa kakek ini.
Akhirnya, ku coba mengingat semua topik pembicaraan yang ia buka. Itu dia. Kakek ini tidak bertanya kenapa aku diluar jam segini, dari mana aku, dan kemana tujuan ku. Manusia normal mana pun pasti akan menanyakan hal tersebut untuk membuka pembicaraan. Perlahan ku geser pantat kearah berlawanan darinya untuk menjauh. Kakek tua itu memperhatikan gerak gerikku, dan ikut menggeserkan badannya agar dekat dengan diriku lagi. Lucu, kami berdua seperti sepasang kekasih yang ingin bermesraan.
Setelah berkejaran pendek, aku sigap berdiri dan pamit dengan tergesa-gesa. Kakek itu hanya diam, tapi mata tajam nya masih memelukku. Kali ini ia tak tersenyum lagi, melainkan menunjukkan ekspresi murka. Saat hendak berjalan menjauh, tetiba sesuatu yang basah mengekap kaki kanan ku. Warna nya hijau, bersisik, berkuku tajam. Tubuhku gemetar untuk melihat kebelakang, memastikan sekali lagi jika ini bukan sebuah khayalan.
Tentu, melihat kebelakang merupakan penyesalan seumur hidup. Kudapati kakek tadi, berubah menjadi makhluk laut yang tak pernah ku tahu. Wajah mengerikan yang dilengkapi mata bersinar jingga terus menghantui ku hingga saat ini. Bahasa yang ia ucapkan juga bukanlah bahasa yang dapat ku mengerti lagi. Setiap suara yang keluar dari mulut makhluk tersebut terdengar seperti suara gelembung pecah. Tubuh nya yang juga bermutasi menjadi sosok tegap sixpack bak binaragawan diselaputi oleh sisik menjijikan membuat adik kecil ku menangis seketika.
Kakek- maksudku makhluk tadi terus bercakap, ibarat merapalkan sebuah mantra pada ritual. Kuku tajam dari tangan kanannya yang juga bersisik bersiap untuk menghancurkan wajah malang diri ini. Nampaknya malam ini diriku akan menjadi santapan nya pikirku sambil menerima nasib.
Entah mungkin dewi Fortuna berada pada pihak ku, terdengar suara bus dari arah depan yang telah mendekat, dengan suara mesin rongsokan yang tak pernah diganti. Ketika ku menoleh kedepan dan sadar bahwa ada orang lain yang bisa menolong diri yang tak berdaya, ku coba lawan pegangan kaki erat dari makhluk entah apa tadi. Namun, ketika hendak melawan, makhluk tersebut telah tiada. Aku terduduk lemas di genangan pipis menyedihkan ku.
Sungguh, kejadian tersebut membekas pada diri ini. Sempat ku berpikir mungkin kejadian itu hanyalah khayalan yang diakibatkan lelah dari lembur. Tapi itu mustahil, dekapan tangan amis nya membekas pada celana jeans ku. Bau amis dari air liurnya tetap masih hidup dalam memori. Kenyataan pahit yang harus ku terima ialah...
Ia hadir diantara kita.
Cerita ini terinspirasi dari makhluk “Lakelurk” dari game Fallout: New Vegas