Dopamine
Dopamine
Karya: Fitri Umayah
Karena mimpi berasal dari keinginan, maka kita tidak boleh kalah dengan keadaan. Aku memejamkan mata, kembali meresapi sepenggal kalimat yang pernah kutulis beberapa tahun silam. Dikala rasa letih yang saat ini menggerayangi tubuhku, kalimat itu bagaikan lecutan yang membangkitkan kembali semangatku. Aku pasti bisa! Hati kecilku berbisik menyemangati.
Namaku, Damayanti Almathea. Orang-orang memanggilku Dama. Aku adalah Mahasiswi tingkat akhir salah satu Universitas Swasta di Palembang. Menurut kalian, apa yang paling identik dengan semester akhir? Yups, tebakan kalian benar! Skripsi! Ah, kepalaku langsung berdenyut ketika mengingatnya. Aku menggeleng, berusaha menyingkirkan bayangan skripsi yang bergelayut manja di kepala. Ditengah acara melamun yang sedang kugeluti, Mega - Teman kerjaku menepuk pelan pundakku.
"Hampir jam 5, beres-beres yok!" mega berujar dengan melirik jam dinding yang terpasang di samping meja kasir. "Kalau lagi banyak masalah cerita, jangan dipendem, okey!!" Lanjutnya yang kujawab anggukan sebagai tanggapan. Kami berdua pun menjalankan tugas masing-masing. Aku yang mulai menyapu, dan Mega mengepel setelahnya. setelah toko tutup, aku naik ke lantai atas untuk mengambil kertas skripsi yang akan kubawa ke kampus sore ini.
"Bismillahirrahmanirrahim, semoga di acc" gumamku penuh harap. Aku melajukan kemudi dengan kecepatan pelan, sesekali bersenandung kecil untuk mengurangi rasa cemas yang membuat jantungku dag dig dug tak karuan. Ah, seperti mau ketemu gebetan saja!
Adzan Maghrib yang berkumandang menyambut kedatanganku memasuki area kampus. Tanpa sadar bibirku melengkung ke atas, kurasakan hatiku menghangat menyadari bahwa sang muadzin hari ini adalah seseorang yang telah lama kukagumi dalam diam, Mas Agam. Agam Ammar Rasyid - Mahasiswa tingkat akhir dari Fakultas Teknik Sipil. Aku sengaja memanggilnya dengan embel-embel 'Mas' mengingat usianya yang lebih tua satu tahun dariku. Selain karena alasan kesopanan, memanggilnya seperti itu entah mengapa menurutku terdengar romantis. Ah, bibirku tersenyum dengan sendirinya mengingat masa-masa orientasi pengenalan mahasiswa baru kala itu, yang mana aku dan Mas Agam terpilih untuk mewakili team kami dalam lomba menyanyi. Sejak saat itulah, muncul rasa kagum dalam diriku yang tak bisa kucegah. Mas Agam yang pendiam namun berkharisma, berhasil membuatku stay jomblo dari semester awal sampai sekarang.
Motorku berhenti di parkiran masjid, tepat disamping motor Mas Agam. Jelas saja aku sengaja menaruhnya disini, siapa tau kan, bisa ketemu pas balik. Eh! Dama oh Dama, modus aja kerjaanmu!
Selesai sholat, aku memutuskan untuk mengambil gawai yang kusimpan dalam tas, namun lagi lagi mataku harus bersibobrok dengan kertas skripsi. Hadeh!! Aku kembali mendengkus. Netraku menyipit tatkala mendapati notif pesan dari Bu Ami-dosen pembimbingku yang mengatakan bahwa beliau hari ini berhalangan ke kampus dikarenakan ada urusan mendadak. Kesal? Tentu saja. Tapi aku tetap membalas pesannya dengan kalimat yang kubuat sesopan mungkin. ‘Tidak apa-apa, Bu Ami. Terimakasih atas informasinya, Bu’.
“Padahal beliau yang nyuruh dateng, tapi beliau juga yang gak dateng.” Gerutuku pada akhirnya.
Mataku melirik ke arah parkiran, berharap menemukan Mas Agam disana. Dan benar saja, lelaki tampan itu sedang mengambil helm yang ia letakkan di setir sebelah kiri, bersiap untuk memakainya.
Dengan langkah tergesa aku menuju parkiran. Jantungku semakin berdetak cepat tatkala posisiku yang saat ini berada tidak jauh darinya - tepatnya di sampingnya. Sapa gak ya? Hem, atau tanya aja mau kemana? Duh! Bodoh banget sih Dam ya pasti mau bimbingan lah. Aku merutuki diri sendiri tatkala kepalaku memupuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak berbobot sama sekali. Akhirnya dengan tangan sedikit gemetar aku memundurkan motorku, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran absurd yang aku khawatirkan justru akan membuatku malu jika kuutarakan. Mas Agam men-starter motornya, meninggalkanku di tempat ini dengan desahan nafas kecewa. Kamu berharap apa sih Dam? Mas Agam menyapamu? Halu kamu dam! Mas Agam masih mengingatmu saja belum tentu! Aku tersenyum miris menyadari fakta ini. Setelah masa Opsiba, aku dan Mas Agam memang tidak pernah sekalipun bertegur sapa.
Jika kalian tebak aku akan langsung beristirahat setelah dari kampus, maka kalian salah besar. Di malam hari jika tidak sedang kuliah dan tiada tugas yang mesti kukerjakan, atau apapun itu yang berkaitan mengenai urusan perkuliahan, kegiatan yang biasa kulakukan selanjutnya adalah membuat buket. Entah itu buket bunga, buket snack, dan yang lainnya. Jika kalian bertanya apakah aku capek? Jelas saja aku akan menjawab iya. Tapi, dengan adanya usaha sampinganku ini, aku bisa mengirimkan uang lebih untuk keluargaku yang ada di desa. Kerja lembur bagi kuda, yang penting cuannya ada!. Ya, motto itulah yang kuterapkan dalam keseharian. Apalagi, saat ini ayahku sedang sakit dan membutuhkan ang yang cukup banyak untuk pengobatan, dan karena alasan ini juga lah aku berupaya sekuat tenaga menghemat pengeluaranku.
Seperti biasa, pukul setengah 7 pagi aku sudah membuka toko. Menjalankan rutinitas yang sudah menjadi kewajibanku selama hampir 4 tahun. Dengan bekerja di tempat ini, aku bisa membiayai kuliahku dan membeli sesuatu yang aku inginkan menggunakan uangku sendiri. Aku ingat betul, sewaktu aku meminta untuk melanjutkan pendidikanku setelah lulus SMA, kedua orangtuaku tidak menyetujuinya. Apalagi alasannya kalau bukan persoalan biaya. Dan karena hal itulah akhirnya aku memutuskan untuk merantau. Aku sangat sangat bersyukur karena mendapat bos yang sangat baik. Beliau memberiku izin untuk menjadikan lantai atas ruko ini sebagai tempat tinggalku. Selain itu, aku juga tidak perlu mengeluarkan uang untuk membayar biaya listrik dan juga air pam. Aku benar-benar berterimakasih padanya.
Terhitung sudah dua minggu setelah hari dimana Bu Ami membatalkan pertemuan, pesanku hanya centang biru, tanpa adanya balasan sama sekali. Hadehhh!! Aku dongkol bukan main. Kecemasanku bertambah tatkala beberapa teman seangkatan di Fakultas Ekonomi sudah mendapatkan jadwal untuk sidang kompre. Beberapa kali aku bertanya pada temanku yang juga mendapatkan dospem Bu Ami, dan mereka ternyata juga sepertiku, digantung tanpa kejelasan.
Doraemon kucing langka
Bisa bikin saya tertawa
Oh Bu Ami engkau dimana
Kami semua sungguh merana.
Mengingat pantun si Arief kemarin lusa, tawaku mengudara seketika. Ada-ada saja!
‘Hari ini ibu ke kampus abis Maghrib’. Pesan yang kuterima tadi siang akhirnya membuatku berada di tempat ini. Jantungku bertalu-talu tatkala Bu Ami membolak balikkan kertas bab 5 skripsiku. Sedari awal memasuki ruangan beliau, aku tak berhenti merapalkan doa dalam hati. Berharap, Bu Ami menyetujui bab terakhir skripsiku. "Ini sudah benar" mendengar itu, sontak saja aku lega luar biasa. Jika tak mengingat dimana aku sekarang berada, pasti aku sudah berjoget ria sangking senangnya. "Terimakasih, Bu Ami" ucapku dengan mata berbinar.
Hp ku bergetar beberapa kali, sudah bisa kutebak itu pasti dari teman-teman kelasku yang memberikan kalimat semangat dan selamat karena dua minggu lagi aku siap untuk menjalani ujian komprehensif. Aku melirik dua paper bag berisikan buket snack di tangan kiriku, melangkahkan kaki menuju gedung Fakultas Teknik Sipil untuk menemui Efran - si pemesan buket.
Mataku mengedarkan pandangan ke segala penjuru kantin. "Ramai sekali" gumamku tanpa sadar. Mataku mengerjap beberapa kali tatkala menemukan Mas Agam yang sedang menikmati semangkuk bakso disamping Efran.
"Sini Dam" Efran melambaikan tangan kearahku sembari tersenyum lebar. Aku berjalan mendekati mejanya yang berada di pojok kantin.
"Ini Fran" aku mengangsurkan dua paper bag itu kepadanya. Mataku sesekali mencuri pandang kepada sosok disamping Efran yang sama sekali tidak peduli akan kehadiranku. Sadar diri dam! Aku memperingati diri ketika rasa kecewa mulai bercokol di hatiku. Kamu bukan siapa-siapanya! Tekanku ulang.
Aku mengucapkan terimakasih setelah Efran memberikan beberapa lembar uang sebagai bayaran dan bersiap undur diri dari tempat ini. Namun baru selangkah, tubuhku tiba-tiba membeku ditempat ketika suara yang begitu ingin kudengar akhirnya berujar,
"Semoga komprenya lancar, Dam" aku membalikkan badan, tersenyum kikuk melihat Mas Agam yang memandangiku begitu lekat. Aku berdeham pelan untuk mengurangi rasa gugup yang begitu kentara.
"Aamiin. Terimakasih, Mas" balasku singkat. Darimana Mas Agam tau ya? Batinku bertanya-tanya.
"Cie pipi Dama merah merona" Efran menaik turunkan alisnya sembari tersenyum menggoda. Meskipun kutahu Efran hanya iseng mengatakan itu, namun efeknya ternyata luar biasa. Kurasakan panas mulai menjalar ke pipi lalu sampai ke daun telingaku.
Jantungku masih berdegub begitu kencang meskipun saat ini aku sedang berada di parkiran gedung Fakultas Ekonomi. Aku menyentuh dadaku dan kurasakan irama yang tak beraturan disana. Dengan senyum mengembang, aku mengambil kunci motor didalam tas, berniat untuk pulang. Horeee!! Mas Agam Masih mengingatku. Hatiku bersorak senang.
"Buat Dama" tepukan di bahuku membuatku menoleh ke belakang. Kudapati Mas Agam berdiri disana dengan menyodorkan paper bag warna biru yang entah apa isinya. Mataku membola tak percaya. Ini serius? Ini Mas Agam loh!!
"Te - terimakasih Ma - Mas" ucapku terbata-bata
Mas Agam hanya mengangguk dan melenggang pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Aku mengerjap pelan, ini nyata kan? Aku mencubit pipiku asal dan mengaduh kesakitan setelahnya. Mas Agam bagaikan zat Dopamine yang selalu menimbulkan rasa senang dihidupku. Di malam ini, aku meninggalkan area kampus dengan ribuan kupu-kupu di perutku. Aku sangat bahagia, sungguh!
“Terimakasih Ya Allah karena memberiku kesempatan dan kekuatan yang membuatku akhirnya sampai di titik ini”. Tangisku luruh ketika aku sampai di rumah. Aku benar-benar tidak menyangka jika aku mampu membiayai kuliahku sampai hampir selesai. Dengan gerakan pelan, aku menyeka air mataku dan mulai membuka paper bag dari Mas Agam. Entah berapa kali aku menggumamkan terimakasih setelah melihat mukena dengan motif bunga daisy pemberiannya.
‘Agam – 085709xxxxxx’
Tawaku sontak memenuhi ruang kamar sesaat setelah aku membaca surat beramplop pink yang juga kutemukan di paper bag yang sama. Aku benar-benar tidak percaya jika Mas Agam bisa melakukan hal yang menurutku sedikit cringe. Sejurus kemudian, aku pun menyimpan nomornya di hp ku.
Nanti pas resepsi mau pakai adat jawa atau Palembang, ya? Apakah setelah wisuda Mas Agam akan langsung melamarku? Aku menyentil dahiku pelan demi menghentikan pikiranku yang berkelana. Bibirku tak henti-hentinya tersenyum sampai tanpa sadar kegelapan merengkuhku, mempertemukanku kembali dengan Mas Agam.